Masyarakat dunia memasuki era perang baru menyusul pembublikasian ribuan dokumen rahasia milik pemerintah AS oleh situs Wikileaks. Perang baru ini cuma mengandalkan kecerdasan dan kecanggihan teknologi karena perang baru ini berlangsung di dunia maya.
Para aktivis di dunia maya yang mendukung Wikileaks mulai melancarkan "perang abad 21" melawan mereka yang dianggap sebagai pihak yang menghalang-halangi dan mencoba membungkam Wikileaks, seperti Mastercard, PayPal, Visa dan sebuah bank di Swiss yang menyatakan memblokir aset milik Wikileaks yang diterima lewat donasi para simpatisan situs pembocor rahasia itu, termasuk Amazon yang melarang Wikileaks menggunakan server milik perusahaan itu.
Untuk membalas tindakan perusahaan-perusahaan itu, para aktivis dunia maya pendukung Wikileaks membentuk sebuah kelompok yang diberi nama Anonymous. Kelompok ini melancarkan serangan DDoS (denial of service) ke komputer-komputer milik perusahaan-perusahaan kartu kredit yang membekukan aset Wikileaks. Kelompok tersebut menamakan serangan mereka "Operation Avenge Assange", mengambil nama belakang bos Wikileaks Julian Assange.
Kelompok Anonymous menggunakan situs jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter untuk mengkordinir serangan ke situs-situs milik entitas yang dinilai berusaha membungkam Wikileaks. Akibatnya, Facebook dan Twitter memblokir akun milik kelompok tersebut.
Wartawan dan pakar teknologi Kevin Anderson pada Aljazeera mengatakan, perang dunia maya ini melibatkan para pendukung dan penentang Wikileaks dan sudah berlansung dalam beberapa minggu terakhir. "Ini perang antara kucing dan tikus," kata Anderson.
Sementara itu di Belanda, seorang remaja berusia 16 tahun ditangkap karena mengaku telah melakukan serangan ke situs Visa dan Master Card karena kedua perusahaan kartu kredit itu memblokir donasi untuk Wikileaks.
Perang di dunia maya ini ternyata efektif untuk memukul "musuh-musuh" Wikileaks. Perusahaan-perusahaan yang situsnya diserang, berpotensi mengalami kerugian besar. "Ini membuktikan adanya kekuatan yang berada di ujung jari manusia, bahwa dunia internet sangat rawan dan sangat beresiko tinggi," kata John Walker dari Secure Bastion, sebuah perusahaan keamanan internet.
"Pasukan" pendukung Wikileaks melakukan serangan dengan menggunakan program DDoS atau yang diistilahkan dengan "botnets", yaitu membombardir situs-situs sasaran dengan "permintaan informasi" sehingga membebani situs dan akibatnya sulit diakses.
Para penyerang bisa melancarkan serangannya dari komputer pribadi dengan mengunduh piranti lunak yang disediakan Anonymous. Sampai hari Rabu kemarin, piranti lunak itu sudah diunduh sebanyak 6.000 kali.
Pakar strategi keamanan dari lembaga Imperva, Noa Bar Yosef menyebut situasi ini sebagai "episode yang menimbulkan efek bola salju. "Makin mendapatkan perhatian, makin banyak orang yang bersedia menjadi sukarelawan untuk melakukan serangan ‘botnet’," ujarnya.
Di sisi lain, pihak Wikileaks sendiri menyatakan bahwa situs mereka juga sudah beberapa kali menjadi target serangan yang memaksa situs tersebut membuka domain baru. (ln/aljz)