Setelah menjalani hidup di dalam penjara rezim Qadzafi selama 20 tahun, Ibrahim (45) beserta lima orang saudaranya akhirnya menghidup udara bebas. Dua puluh tahun lalu, mereka ditangkap dengan tuduhan "pandangan politik yang menyimpang rezim" dan dijebloskan di penjara "Bousalem".
Bagi rakyat Libya, penjara "Bousalem" merupakan tempat yang angker dan mengerikan. Bisa jadi serupa penjara Nusakambangan atau Buru di Indonesia. Penjara tersebut sangat terasing dan terletak jauh di kawasan Timur Libya, di provinsi Ajadiya, sekitar 180 KM dari Benghazi atau sekitar 1180 KM dari ibu kota Tripoli.
Ibrahim dijebloskan di penjara tersebut karena pandangan politiknya. Tak hanya itu saja, kelima saudaranya pun ikut-ikutan dijebloskan, meski pun mereka tak ikut-ikutan dan tak tahu menahu pasal pandangan politik Ibrahim.
"Saya dipenjara karena saya mengkritik sistem pendidikan Libya. Saya katakan, sistem pendidikan di negeri saya bermasalah. Hanya karena perkataan tersebut, saya ditangkap sebuah barigadir militer rezim Qadzafi dan dijebloskan ke Bousalem," kata Ibrahim sebagaimana dikutip surat kabar al-Masry al-Youm (23/3).
Ditambahkan Ibrahim, barigadir militer Qadzafi pun tak hanya menciduk dirinya saja, tetapi juga lima saudaranya yang lain. "Mereka padahal tak tahu apa-apa, tak punya salah apa-apa. Tapi segala puji bagi Allah. Allah lah yang akan menjungkalkan setiap pemimpin tiran. Revolusi pun berkobar di Libya," lanjutnya.
Ibrahim dan tahanan lainnya bisa keluar dari penjara pasca meledaknya revolusi Libya sejak 17 Februari silam, dan setelah satuan oposisi menduduki dan menguasai kota Ajadiya, termasuk di dalamnya penjara Bousalem.
Pasca kebebasannya, Ibrahim dan alumnus penjara Bousalem lainnya segera bergabung dengan garda revolusi Libya.
"Kami akan terus berperang untuk menggulingkan rezim Qadzafi yang tiran. Kami tidak takut pada rezim. Yang kami takutkan, justru ketika perjuangan revolusi ini akan sia-sia," kata Ibrahim. (as/my)