Setelah revolusi Mesir, pergolakan yang terjadi dalam negeri Libya menjadi peristiwa yang paling banyak menyedot perhatian dunia. Pemberitaan pun lebih banyak mengupas soal sosok pemimpin Libya Muammar Gaddafi dengan segala macam intrik dan kenyenterikannya, serta kebrutalannya dalam menghadapi para demonstran bahkan konon pasukannya sendiri yang menolak berpihak padanya.
Tak ada media yang secara mendalam mengulas atau menganalisa apa sebenarnya yang terjadi di Libya, benarkah pergolakan di negeri itu semata-mata hanya imbas revolusi di Tunisia dan Mesir, karena masalah politik atau karena Gaddafi yang sudah terlalu lama berkuasa sehingga dianggap otoriter?
Penulis buku yang juga mendalami kajian Timur Tengah, Dina Y. Sulaeman membuat analisa menarik terkait dengan gejolak dalam negeri Libya dalam tulisannya bertajuk "Kini Tiba Giliran Libya" yang dimuat di situs IRIB World Service.
Ia menulis, minimnya informasi tentang krisis di Libya memungkinan munculnya beragama analisa. Publik seharusnya tidak menelan mentah-mentah pemberitaan media-media mainstream yang sudah berkali-kali terbukti berperan penting dalam upaya penggulingan rezim di negara-negara Dunia Ketiga. Selain itu, jika di Mesir ada kelompok Ikhawnul Muslimin, dalam krisis di Libya belum ada nama-nama tokoh oposisi di Libya yang muncul ke permukaan atau siapa yang berperan dalam mobilisasi massa di Libya.
Penulis buku "Obama Revealed", "Pelangi di Persia" dan buku best seller "Doktor Cilik Hafal dan Paham Al-Quran" ini, dalam analisanya, menelisik dimensi lain pemicu krisis di Libya yang mungkin luput dari perhatian publik dunia, yaitu sumber minyak Libya yang berlimpah.
Dina mengutip Wall Street Jourmal edisi 28 Agustus 2009 yang menyebutkan bahwa Libya adalah negara di Afrika yang memiliki sumber minyak terbanyak. "Konsesi minyak Libya diserahkan kepada perusahaan-perusahaan minyak yang sudah umum didengar telinga, British Petroleum, Total, Shell, atau ExxonMobil. Perusahaan-perusahaan yang juga mengeruk minyak dan gas di Indonesia dan negara-negara Dunia Ketiga lainnya, yang saham terbesarnya dikuasai oleh orang-orang Zionis," tulis Dina.
Dalam laporannya, Wall Street Journal mengeluhkan sikap Libya yang menyulitkan investor. Rupanya, sejak tahun 2007, pemerintah Libya memaksa perusahaan-perusahaan minyak asing untuk menegosiasi ulang kontrak mereka. Perusahaan yang ingin memperpanjang kontrak, harus membayar bonus yang sangat besar dan hanya mendapatkan hak eksplorasi yang lebih sedikit. Libya mengancam perusahaan-perusahaan itu dengan wacana nasionalisasi, jika mereka menolak syarat-syarat yang ditetapkan.
Masih menurut Wall Street Journal, tulis Dina, dalam kondisi seperti itu, tender hanya mungkin dimenangkan oleh perusahaan minyak milik negara seperti Gazprom dari Rusia atau Sonatrach dari Aljazair. Dengan kata lain, perusahaan-perusahaan swasta milik pengusaha-pengusaha Zionis itu merasa "tergencet" dengan persyaratan yang diajukan penguasa Libya.
Lebih lanjut, Dina menulis bahwa laporan Wall Street Journal itu bersesuaian dengan doktrin lama kekuatan-kekuatan kapitalis Zionis; bila ada rezim yang mengancam kepentingan kapitalis, maka gulingkan!
"Lembaga-lembaga think-tank Zionis, mulai dari Freedom House, National Democrat Institute, International Republican Institute, USAID, hingga LSM-LSM swasta yang didanai milyarder Zionis macam Open Society-nya George Soros sudah terbukti menjadi dalang dari upaya-upaya penggulingan rezim (baik yang sudah berhasil maupun belum) di Serbia, Georgia, Ukraina, Kyrgyzistan, Nikaragua, Myanmar, Indonesia, Malaysia, Pakistan, Palestina, Lebanon, dan Iran," tulis Dina.
"Tentu saja, upaya ‘pemberian bantuan’ untuk penggulingan rezim di sebuah negara bukan mereka lakukan dengan niat tulus membebaskan rakyat dari kediktatoran sebuah rezim, tapi semata-mata demi memuluskan jalan bagi korporasi-korporasi transnasional milik Zionis," tukasnya.
Di akhir tulisannya, Dina menyatakan bahwa analisanya bukan untuk membela seorang Gaddafi yang jelas-jelas seorang diktator. Ia menegaskan, kroni AS-Zionis itu banyak jenisnya.
"Ada yang budak dalam arti seutuhnya, tunduk patuh pada apapun kata Sang Tuan, macam Ben Ali atau Husni Mobarak, sampai-sampai rakyat mereka hidup miskin. Ada pula yang berwujud diktator, macam Qaddafi, tetapi masih berani bermulut besar di depan Barat sehingga rakyatnya tetap punya uang sekitar 14.000 dolar per tahun. Ada pula yang menjaga citra sebagai pemimpin yang ramah dan demokratis, namun sesungguhnya lewat tangannyalah kekayaan alam negaranya diobral habis kepada korporasi AS-Zionis," pungkasnya. (ln/IRIB)