Ia memutuskan masuk Islam pada usia 49 tahun, setelah lebih dari 30 tahun melakukan riset dan menjalani berbagai pengalaman hidup. Tahun 1997, warga Amerika keturunan Yahudi yang berprofesi sebagai wartawan dan penulis ini, mengucapkan dua kalimat syahadat dan menggunakan nama islami Suleyman Ahmad. Hingga sekarang, ia dikenal dengan nama itu.
Ahmad mengatakan, keputusannya memeluk agama Islam, merefleksikan banyak hal yang pernah ia saksikan dalam alami sepanjang hidupnya. Ia lahir dari keluarga Yahudi, tapi kedua orang tuanya memeluk agama yang berbeda. Ayahnya memeluk agama Yahudi dan pernah belajar di sekolah Yeshiva, sekolah agama Yahudi untuk anak-anak muda. Sedangkan ibu Ahmad, penganut Protestan yang taat.
“Ibu saya rajin membaca Alkitab dan sangat paham dengan isi Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru,” ujar Ahmad.
Situasi politik di tahun 1930-an membawa perubahan bagi kehidupan religius kedua orang tuanya. Ibu Ahmad menyatakan keluar dari agama Kristen sebagai bentuk protes terhadap apa yang dilakukan Nazi pada orang-orang Yahudi. Ibu Ahmad lalu beralih memeluk Yudaisme.
“Kedua orang saya hidup dalam kondisi paradoks yang tragis. Mereka cukup lama hidup dibawah pengaruh Partai Komunis, sementara mereka menjadi pemeluk Yudaisme karena kecewa dengan agama Kristen yang menurut mereka agama yang gagal,” ungkap Ahmad.
Meski penganut Yudaisme, tambah Ahmad, kedua orang tuanya bukan seorang Zionis. Ahmad sendiri mengaku sedih melihat konflik berkepanjangan di Timur Tengah, khususnya konflik Israel-Palestina. “Saya selalu merindukan terciptanya keadilan dan persahabatan antara orang-orang Israel dan Arab,” tukasnya.
Ahmad mengaku sebagai orang kiri yang ekstrim dan radikal di masa mudanya. Ia percaya adanya Tuhan, tapi tidak pernah terlalu serius menanggapi masalah ketuhanan dalam hidupnya. Ketika ia mulai melakukan pencarian akan kehidupan spiritualnya, Ahmad tertarik pada ajaran Katolik. Namun ia tidak pernah menyatakan diri pindah dari Yudaisme ke agama Katolik.
“Saya sangat terkesan dengan literatur agama Katolik yang mistis. Saya mulai mengetahui bahwa dibalik pencapaian besar agama Katolik di Spanyol, ada sejarah Islam di sana. Agama Islam yang indah telah banyak memberikan inspirasi pada tradisi di Spanyol,” tutur Ahmad.
Ia jadi sering bolak balik ke Spanyol, menelusuri sisa-sisa masyarakat Islam di semenanjung Iberian. Sebagai penulis, ia melakukan riset atas fenomena pengaruh budaya Islam terhadap tradisi Spanyol selama bertahun-tahun, ia juga mempelajari puisi-puisi karya seniman Spanyol yang membuktikan dalamnya pengaruh Islam pada karya-karya mereka.
Setelah sempat mempelajari Kabbalah–tradisi mistis masyarakat Yahudi–pada tahun 1979, Ahmad akhirnya tertarik pada ajaran Islam. Ia memutuskan untuk mempelajari Islam pada tahun 1990-an, ketika ia ditugaskan ke kawasan Balkan sebagai wartawan. Ia datang ke Sarajevo untuk melaporkan perang Bosnia ketika itu.
“Di Sarajevo, saya menemukan banyak hal yang mengagumkan. Saya seperti menemukan Eropa yang islami. Suasananya tidak membuat saya merasa sebagai turis. Di sini saya bertemu dan berinteraksi langsung dengan warga Muslim dan para pemuka agama Islam …”
“Saya menemukan banyak puisi dan musik-musik yang mengekspresikan nilai-nilai Islam yang penuh cinta dan kemuliaan. Saya menemukan sisa-sisa peradaban Islam dari zaman dinasti Ustmaniyah. Di Sarajevo, saya membaca Al-Quran dan monumen-monumen Islam,” ungkap Ahmad.
Setelah perjalanan ke Sarajevo, tepatnya pada tahun 1997, ia akhirnya memutuskan untuk menjadi seorang muslim. Sejak menjadi seorang muslim, Ahmad selalu dengan hati-hati memberitahu tentang keislamannya pada teman-temannya, tetangga atau rekan kerjanya. Ia tidak mau keislamannya menjadi kontroversi. Ia juga tidak mau orang berpikiran “ada sesuatu” dibalik keislamannya.
Sejak memeluk Islam, Ahmad mengaku tidak pernah mengalami hal-hal buruk terkait keislamannya. Beberapa orang di tempat kerjanya, ada yang terkejut setelah mengetahui ia sudah masuk Islam, tapi mereka tetap menghormatinya sebagai rekan kerja.
“Saya melihat beberapa orang menilai pengalaman saya bertugas di Balkan yang mempengaruhi saya masuk Islam. Saya ingin meluruskan bahwa saya masuk Islam bukan karena alasan politik atau karena masalah kemanusiaan, tapi karena meyakini bahwa pesan yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw. adalah bukti yang jelas dari apa yang diinginkan Allah dari umat manusia,” tukas Ahmad.
Ia mengungkapkan, salah satu aspek dalam Islam yang sangat membuatnya terkesan adalah ketenangan batin karena konsep berserah diri atas semua kehendak Allah. Ia melihat konsep ini tercermin dalam sikap ikhlas, sederhana dan kerendahan hati Muslim Bosnia, meski mereka sedang mengalami situasi yang penuh dengan kekejaman dan kezaliman.
Namun Ahmad mengaku sedih melihat kondisi umat Islam saat ini, yang menurutnya sudah makin terpecah belah. “Sebelum saya memeluk Islam. Saya terkesan dengan nilai-nilai yang ditunjukkan komunitas Muslim dan Amerika dan kekuatan moral yang ditunjukkan Muslim Balkan. Hari ini, saya harus mengatakan, agak sedih melihat umat terpecah belah dan saling berseteru satu dengan lainnya. Saya juga prihatin kegagalan umat Islam untuk melakukan sesuatu yang lebih besar bagi para korban imperialisme Kristen Ortodoks di Balkan,” ujar Ahmad mengungkapkan keprihatinannya.
“Tapi Islam telah membawa keindahan dan kedamaian pada hidup saya. Seperti yang sering saya katakan pada banyak orang, sisa hidup saya akan saya dedikasikan untuk beribadah pada Allah dan saya pribadi berjanji akan melakukan apa saja yang saya bisa untuk membantu membangun kembali masjid-masjid di Bosnia dan Kosovo,” tandas Ahmad. (ln/TJCI)