Belum habis letusan gunung Merapi yang memporak-porandakan daerah sekitarnya, sekarang ada letusan yang lebih dahsyat dibandingkan dengan letusan Merapi, yaitu ‘perang’ antara rakyat Yogyakarta melawan SBY, yang bersikukuh menginginkan pemilihan gubernur dan wakilnya di derah istimewa Yogyakarta melalui pemilu.
Rakyat Yogyakarta ingin diselenggarakan referendum (jajak pendapat), sebagai solusi mengatasi kemelut ini. Reaksi rakyat Yogyakarta itu dipicu oleh pernyataan Presiden SBY bahwa sistem pemerintahan di Yogyakarta tak mungkin monarki (kerajaan). Selama ini kepala daerah Yogyakarta memang menjabat berdasarkan penetapan, yakni Sultan sebagai Gubernur dan Paku Alam sebagai wakilnya.
Berbagai spanduk bertebaran di alun-alun kraton Yogyakarta, dan seantero wilayah kerajaan itu, yang menginginkan diselenggarakan referendum. Mereka tetap menginginkan agar gubernur Yogyakarta itu, tetap dipegang oleh Sultan. Tidak melalui proses pemilu. Sebab dengan pemilu, berarti tidak lagi gubernur Yogyakarta itu akan dipimpi Sultan, bisa orang lain.
Reaksi rakyat Yogyakarta itu dipicu oleh pernyataan Presiden SBY bahwa sistem pemerintahan di Yogyakarta tak mungkin monarki (kerajaan). Selama ini kepala daerah Yogyakarta memang menjabat berdasarkan penetapan, yakni Sultan sebagai Gubernur dan Paku Alam sebagai wakilnya.
Sultan Yogyakarta menanggapi pernyataan Presiden SBY dengan menyatakan akan menanggalkan jabatan gubernur, “Kalau sekiranya saya dianggap pemerintah pusat menghambat proses penataan DIY”. Artinya rakyat Yogyakarta tetap ingin Sultan yang memimpin Yogyakarta.
Tetapi, sejarah di masa lalu, memang menunjukkan pengorbanan yang luar biasa dari Sultan Yogyakarta, khususnya terhdap Republik indonesia, di mana kesultanan menyatakan bergabung. “5 September 1945, Sultan Hamengku Buwono IX menjadi pemimpin daerah yang pertama menyatakan diri bergabung dengan pemerintah Republik Indonesia. Pernyataan tersebut tertuang dalam amanat yang ditujukan kepada penduduk Yogyakarta. Pada saat yang bersamaan, Paku Alam VIII atas nama kadipaten Paku Alaman mengeluarkan pula amanat yang sama. Selanjutnya, pada 6 September 1945, Presiden Soekarno memberikan jaminan status khusus bagi kedua raja tersebut berupa piagam kedudukan”.
Selanjutnya, dalam perjalanan di mana Indonesia masih menghadapi ancaman agresi Belanda, pada tanggal 6 Januari 1946 – 27 Desember 1949, karena situasi keamanan Jakarta yang semakin memburuk menyebabkan Pemerintah Indonesia memindahkan ibu kota ke Yogyakarta. Kurang lebih 3,5 tahun, dan pemerintah mengendalikan negara dari Yogyakarta. Ini merupakan sejarah yang tidak dapat dilupakan, betapa sumbangan Yogyakarta bagi masa depan republik ini.
Selama dalam kurun waktu yang panjang Sultan Hamengku Buwono ke IX mengeluarkan dana pribadinya , membuka peti harta Keraton dan membagikan kepada pejabat pemerintah Republik Indonesia dari pejabat tinggi sampai pegawai rendahan guna menyambung hidup mereka sehari-hari.
Hamengku Buwono ke IX juga memberikan dana kepda para pejuang yang bergerilya melawan penjajah Belanda dan palang merah Indonesia. Jadi pengorbanan Hamengku Buwono itu sangat besar bagi eksistensi Indonesia di awal kemerdekaan, ketika republik masih menghadapi ageresi Belanda.
Kemudian, 4 Maret 1950, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan UU Nomor 3 tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, yang memberikan hak khusus kepada daerah Yogyakarta, dalam pengelolaan pemerintahan daerah.
Tentu, pernyataan Presiden SBY yang menginginkan perubahan Yogyakarta, tidak menjadi sebuah monarki (kerajaan) menemui perlawanan dari rakyat. Padahal, mekanisme pemerintahan di Yogyakarta, tidak ada yang berbeda dengan pemerintah pusat, kecuali hanya berkaitan dengan kepemimpinan daerah, yang secara mutlak berada di tangan Sultan. Nampaknya, rakyat juga tidak ingin adanya perubahan, di mana pemimpin Yogyakarta beralih tangan kepada orang lain, yang bukan Sultan.
Konlfik yang berlarut-larut khususnya berkaitan dengan Undang-Undang tentang Keistimewaan Yogkarta, hanya semakin melemahkan posisi pemerintah pusat, karena rakyat Yogyakarta melakukan perlawanan secara massif. Jika situasi ini tidak diselesaikan dengan baik oleh pemerintah, dampaknya akan sangat luas.
Apalagi bila rakyat Yogyakarta yang secara keseluruhan menuntut diselenggarakan referendum, ini berarti akan dapat menjadi preseden seperti yang terjadi seperti Timor Timur. Adakah Yogyakarta menjadi negara tersendiri, sebagai akibat kurangnya Presiden memahami tentang sejarah? (mhn)