Oleh: Fahmi Salim*
Nilai strategis Mesir telah melegenda sejak dulu hingga era modern. Ditakdirkan Tuhan menjadi salah satu cradle of civilization yang tertua di dunia dengan lembah sungai Nil yang subur dan monumen-monumen megah seperti Pyramid dan Sphinx, Mesir juga adalah saksi bagi kejayaan Alexander The Great dan Ratu Cleopatra. Dalam sejarah misi profetik Tuhan, Mesir juga saksi pembebasan Nabi Musa terhadap umat Yahudi dari perbudakan Fir’aun, tempat eksodusnya Maryam dan Nabi Isa dari penindasan Herodus dari Roma, dan daerah asal Maria Qibtiya, budak perempuan hadiah dari Muqauqis Kepala Gereja Koptik abad 6 M yang diperistri Nabi Muhammad.
Di era modern, pasca Perang Dunia II, sejak diproklamirkan Negara Israel tahun 1948 hingga kini, Mesir sebagai tulang punggung kekuatan Arab telah menggelar perang dengan Negara Zionis itu empat kali pada tahun 1948, 1956, 1967, dan 1973. AS sebagai adi daya baru pengganti Inggris pasca PD II amat sadar dengan kekuatan geopolitik Mesir di kawasan Timteng sebagai pusat stabilitas politik.
Segera saja Jimmy Carter, Presiden AS ke-39, yang resmi menjabat per 20 Januari 1977, intensif mendekati Presiden Mesir Anwar Sadat agar bersedia berdamai dengan Israel, musuh bebuyutannya sepanjang 29 tahun.
Upaya Carter sukses dengan penandatanganan Camp David Accords antara Menachem Begin PM Israel dan Anwar Sadat pada tanggal 26 Maret 1979. Kesepakatan damai ini ditentang keras rakyat Mesir dan Negara-negara Arab. Sejak itu Mesir dikucilkan dari Liga Arab, dan puncaknya adalah tragedi pembunuhan Anwar Sadat saat parade militer pada 6 Oktober 1981 oleh perwira tentara ekstrimis.
Status Quo Timur Tengah
Pilihan Sadat diteruskan oleh Mubarak hingga kini. Sejak itulah peta politik Timteng beralih total dari status quo perang menjadi status quo damai antara Arab-Israel. Dengan Camp David Accords 1979, Israel tidak lagi dihantuiresiko perang dengan Mesir dalam masa 3 dekade sebelumnya. Keuntungan politik itu berangkat dari kesadaran bahwa ‘tak akan ada perang dan damai di Timteng tanpa keterlibatan Mesir’. Dalam hal ini, Mesir memerankan jembatan Israel satu-satunya untuk berdialog dengan dunia Arab.
Meski hanya Cairo dan Amman yang bersedia membuka hubungan diplomatik penuh dengan Israel, namun perlu dicatat sepanjang 3 dekade telah dibuka beberapa kantor perwakilan dagang di Negara-negara Arab dan Teluk, akibat pengaruh langsung dari Mesir.Selain itu, Mesir di bawah rezim Mubarak adalah kompas keamanan asasi dalam hal
menjaga keamanan dan kelangsungan Israel, pemimpin proyek normalisasi Arab dengan Israel, dan pemerang setiap jenis ekstrimis politik Islam di Timteng.
Peran terbaru Mesir dalam pergolakan internal Palestina sejak kemenangan Hamas dalam pemilu Palestina tahun 2006 yang ditolak oleh Barat dan Israel, adalah menjadi mediator perundingan Israel dan Palestina, serta dialog rekonsiliasi faksi-faksi politik Palestina dengan membatasi ruang gerak Hamas yang radikal.
Dengan segala ‘prestasi’ Mesir tadi untuk kepentingan AS dan Israel, maka terancamnya posisi Mubarak dan instabilitas politik di Mesir dalam aksi Revolusi Nil lebih dari 2 pekan di seantero Mesir, sangat merisaukan AS dan Israel terkait status quo damai. Dengan asumsi tumbangnya rezim Mesir yang pro Barat dan situasi arah politik yang lepas dari kendali AS, tentu akan mengubah seluruh perimbangan kekuatan geopolitik di Timteng.
Di antaranya membuka peluang bagi bangkitnya kelompok-kelompok anti-Israel dan AS di Mesir dan dunia Arab. Resiko yang paling mengerikan dan tak diharapkan oleh Barat adalah jika terusan Suez sebagai urat nadi perekonomian dunia ditutup oleh pemerintah baru yang anti Barat. Belum lagi resiko guncangan ekonomi dunia yang dipicu oleh kenaikan harga minyak akibat ketegangan dan perubahan peta politik di Timteng pasca Mubarak ini.
Sehingga amat beralasan jika Gedung Putih sangat sibuk memainkanstrategi dan rapat lembur untuk mengatur sebuah proses transisi politik yang tertib dan damai (orderly transition) di Mesir. Secara khusus Presiden Obama telah mengutus Frank Wisner untuk berdialog dengan Mubarak dan ‘mengatur’ bagaimana seharusnya transisi politik di Mesir agar tak terjadi turbulensi politik yang membahayakan kepentingan AS di kawasan.
Sebab AS tak ingin mengulangi kesalahan fatal Presiden Carter pada 1979, saat AS kehilangan sekutu utamanya Syah Iran yang digusur oleh Revolusi "Islam" pimpinan Ayatollah Khomeini. Bagi Gedung Putih tidak lah penting siapa figur pengganti Mubarak lebih dari mengamankan kepentingan jangka panjangnya sendiri.
Tiga Skenario
Dalam pengamatan saya setidaknya tersedia 3 kemungkinan skenario orientasi politik Mesir pasca Mubarak. Pertama, orientasi politik yang sepenuhnya persis Iran ala rezim Mullah dengan doktrin Revolusi Islam-nya yang menekankan ‘perlawanan’ terhadap hegemoni AS. Meski ada imbauan dari Ali Khamenei agar rakyat Mesir meniru Revolusi "Islam" Iran ’79, namun skenario ini paling kecil kemungkinannya. Selain akan ditentang keras AS, internal Mesir sendiri, seperti ditegaskan Jubir kelompok oposisi utama Ikhwan Muslimun menolaknya dan meyakinkan bahwa ini adalah revolusi rakyat bukan replika dari revolusi "Islam" di Iran (Kompas, 6 Februari 2011)
Kedua, muncul juga kemungkinan bahwa orientasi politik Mesir tetap status quo pro-Barat dengan simbol Omar Sulaiman yang digadang AS akan meneruskan kebijakan Mubarak. Menjadi sekutu kuat Israel secara politik dan menganut sistem pasar liberal dalam ekonomi. Skenario ini meski terbuka lebar, namun tidak realistis karena dua hal. Obama yang berasal dari Partai Demokrat ingin melihat Mesir sepenuhnya demokratis, dan tentu saja bakal melibatkan peran kelompok oposisi berhaluan Islam sepopulerIkhwan Muslimun di ruang pengambilan keputusan. Konsekuensinya jelas bahwa kebijakan-kebijakan AS dan agenda Israel di kawasan tak akan sepenuhnya diterima ‘yes man’, meski IM juga bisa akomodatif dan pragmatis dalam hal yang bukan prinsip.
Ketiga, Mesir yang demokratis pasca Mubarak akan memilih orientasi politik yang independen dan seimbang dalam menjaga jarak dengan semua kekuatan dunia yang berkepentingan di Timteng. Persis seperti yang telah diperankan oleh Turki di bawah kendali Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP). Tidak terkooptasi AS dan Israel, bisa bekerja sama dengan Iran, namun juga tidak memusuhi Barat secara umum. Pilihan orientasi politik yang moderat dan independen inilah kiranya yang paling mungkin diwujudkan di Mesir.
Selain pengalaman Turki bisa berulang di Mesir dengan naiknya kelompok Islam ke panggung kekuasaan, secara psikologis juga amat memungkinkan. Mengingat rakyat Arab pada umumnya dan Mesir khususnya telah muak selama 30 tahun dengan status quo pro-Barat, namun juga tak mungkin mengcopy paste Revolusi "Islam" Iran yang anti-Barat sebab perbedaan doktrin Sunni dan Syiah. Maka prospek orientasi ketiga ini hemat saya amat menjanjikan. Demi kelangsungan perdamaian dunia yang berangkat dari independensi sikap politik pilar stabilitas Timteng sestrategis Mesir.
*(Direktur LemKIA UIAJakartadan Sekjen The Center for Islam and Midle East
Studies –CIMES-)