Seperti halnya pemberitaan Majalah Islam–Sabili-No. 8, 9 Desember 2010/3 Muharam 1432. Di halaman 30 dengan judul "Terorisme Cerita Yang Belum Berakhir" diceritakan penangkapan seorang aktifis yang bernama Bahrunna’im (selanjutnya di singkat “BN”).
Dari peristiwa penangkapana itu terungkap kesaksian menarik dari sebagian masyarakat melihat aparat Densus 88 yang menggrebek rumah kontrakan BN, “Kami melihat kelompok Densus 88 adalah warga asing, ada sekitar 7-10 orang mereka berbadan tinggi dan berkulit putih, maka warga memotret namun apa yang terjadi justru handphone mereka di rebut kemudian gambar di hilangkan”. Masyarakat menyayangkan penggrebekan tersebut karena belum tentu mereka adalah teroris.
Jauh dari lubuk hati terdalam, sebagian besar umat Islam di Indonesia, dalam kasus ‘terorisme’ merasa prihatin (lebih kasarnya: sakit hati) karena Densus 88 telah membuang asas praduga tak bersalah. Bahkan rambu-rambu UU terkait dengan HAM yang dibuat oleh penguasa sendiri juga mereka campakkan, ini akan terlihat dari kronologis penangkapan BN (hasil investigasi). Sekedar mengingat tentang sebuah UU produk thagut:
UU NO. 39 Th 1999 Tentang HAM, Pasal 4: "hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah Hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun."
Analisa saya, kenapa BN ditangkap oleh Densus 88 karena beberapa hal sebagai berikut:
Karena latar belakang BN yang banyak kenal dengan ikhwan dari kelompok yang dianggap Radikal, misal: kedekatan BN dengan ustad I’im (JAT/putra ustad ABB), komunikasi yang pernah dilakukan BN dengan Jibril Abdurrahman (putra Abu Jibril yang di tahan Densus 88 juga).
Pertemanan BN dengan Imam Samudra, dan beberapa orang di kelompok KOMPAK Solo (grup KOMPAK Solo: seperti Usman alias Usamah alias U’us alias tikus murid dari Abdullah Sonata waktu di Ambon-makanya kenapa Kadiv Humas Mabes Polri menyatakan BN adalah simpatisan Abdullah Sonata, padahal BN sendiri tidak mengenal AS, dan BN di ditangkap berdasarkan UU Darurat karena kepemilikan senjata dan tidak terkait dengan tindak pidana terorisme).
Begitu pula ke aktifan dia melalui blog, FB (face book) dan situs lainya, membangun komunikasi dengan jejaring para pemuda di Liberation Youth dengan konten-konten yang cukup tajam mengkritik penguasa dan kejahatan Densus 88. BN adalah seorang yang cukup mahir dan ‘pakar’ di dunia IT.
Semua ini menjadikan BN sebagai orang yang dianggap ‘berpotensi’ dan ‘bermasalah’ bagi Densus 88. Apalagi seperti pengakuan BN sendiri dia pernah dititipi oleh kawan-kawan lamanya sejumlah peluru sisa Poso dan akhirnya dibuang bersama (BN dan keluarga). Dan penangkapan kali ini karena masalah titipan yang sama (sisa peluru yang belum terbuang dan ada dugaan ditambah oleh Densus 88 dengan peluru yang baru).
Densus 88, terlihat berusaha bersih-bersih siapapun yang dianggap terkait dengan jaringan Radikal-Jihadis. Sekalipun orang yang menjadi target tidak terlibat langsung dalam sebuah peristiwa yang disangka tindakan ‘teroris’ oleh pihak aparat. Dalam kontek inilah BN di jadikan target, dan biasanya penangkapan seorang target akan menjadi batu loncatan ke target berikutnya dalam pusaran proyek kontra-terorisme yang di komandani oleh Densus 88 dan sekarang melalui lembaga BNPT .
Lebih dekat tentang BN
Pemuda aktifis ini bernama Muhammad Bahrun Na’im Anggih Tamtomo alias Abu Rayyan alias Abu Aisyah. Dilahirkan di Pekalongan, 06 September 1983, dengan pekerjaan wiraswasta (bisnis Online/e-corms). Dengan alamat terakhir saat peristiwa; Kampung Mertodranan, RT 02 RW 03, Kelurahan Semanggi, Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta atau Jl. S Indragiri 57, R W 001, Kelurahan Sangkrah, Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta.
Peristiwa Penangkapan
Berdasarkan keterangan dari pihak Densus 88 Mabes Polri, penahanan BN di lakukan pada hari Rabu 10 November 2010. Tapi fakta dilapangan BN sudah menghilang sejak hari Selasa 9 November 2010. Dan baru pada hari Rabu di bawa Densus 88 ke rumah kontrakan BN untuk mengambil barang bukti.
Dimana saat itu yang di bawa oleh Densus 88 adalah tas ransel yang berisi peluru dan beberapa perangkat computer. Kalau menurut sumber tunggal Mabes Polri melalui Kadiv Humasnya barang yang di sita dan menjadi barang bukti adalah; 534 peluru berbagai ukuran, satu buah laptop, enam hardisk komputer, dua tempat pistol, buku dan CD, serta dua buah handy talky (HT).
Dan dari pengakuan istri BN setelah police line rumah kontrakannya di buka, ternyata banyak barang lainya hilang, misal: uang di tabungan (tidak ketahuan nominalnya karena tidak pernah dihitung), dan kamera digital merk Sonny disamping kondisi dalam rumah dalam keadaan acak-acakan.
Alasan Densus 88 menahan BN ?
Alasan utamanya adalah karena berdasarkan barang bukti yang cukup, yang bersangkutan diduga keras telah melakukan tindak pidana tanpa hak menerima, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, sesuatu amunisi at u sesuatu bahan peledak sebagimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (1) UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951.
Dan BN ditahan tidak dikenakan UU Anti Teroris. Tapi perlakuan dan penanganan BN diperlakukan sebagai tahanan tersangka ‘teroris’ lainya.
Jika toh menggunakan UU Darurat, apakah UU tersebut akan diberlakukan surut? Dugaan saya, akan selalu dicarikan delik hukum agar seseorang yang sudah ditarget tetap masuk dalam kerangkeng.
Kejanggalan Seputar Penahanan BN Oleh Densus 88
- Malam jam 22.00 (kamis malam jumat: 11 Nov 2010) kurir polisi telah menyerahkan surat penahanan dan pemeberitauan penahanan yang penuh kejanggalan —menurut versi TPM solo— BUKAN SURAT Penggeledahan.
- Kejanggalan berikutnya pengacara yang bernama Asludin Hatjani, yang bertanda tangan pada surat penahanan dan pemberitahuan penahanan . Yang selama ini pengacara tersebut di kenal orangnya Densus88, hal ini menjelaskan orang yang ditahan tidak ada pilihan dan Densus 88 punya kepentingan untuk memuluskan semua narasi yang dibangun ditambah lagi tidak ada nama terang dari kurir yang menyerahkan surat.
- Pasalnya adalah pasal pidana bukan pasal tindak pidana terorisme yaitu terkait kepemilikan peluru tapi yang menandatangani surat adalah ketua Densus88, dan jika pasalnya adalah pasal tersebut , tetapi kenapa penahanan atas dasar laporan polisi bukan laporan warga.
- TPM tidak bisa kases ke BN di tahanan agar bisa mengalihkan advokasinya dari Asludin ke TPM resmi. Dan BN hanya bisa di temui oleh istri dan keluarga inti dengan pengawasan dan kontrol ketat dari Densus 88.
- Terlihat dan tersirat modus standart aparat untuk menangkap ‘target’ dengan cara di fitnah atau di jebak dengan ‘barang bukti’ yang sengaja di tanam atau dengan modus jebakan.
- Dan apa yang di sampaikan oleh Komnas HAM, tentang tindakan Densus88 terindikasi kuat melakukan pelanggaran serius terhadap HAM, turbaca ulang dalam kasus BN.
Dan sebagian kronologis penangkapan BN lebih lengkapnya sebagai berikut:
- Hari selasa tgl 9 bovember 2010, waktu berkisar pukul 11.00 wib, siang, BN balik dari kantor beacukai ambil pesanan barang dari pelanggan bisnisnya, tepat di depan daerah BTC (Beteng Trade Center) daerah Gladak yang tidak jauh dari rumah orang tua “BN” yaitu sangkrah, sebenarnya ada beberapa saksi teman-teman BN di sangkrah yang melihat proses penangkapan BNi, yang pada saat di lokasi mereka jualan di daerah penangkapan, jadi pada awalnya, BN sampai depan Beteng, BN langsung dicegat oleh orang-orang bersenjata dengan mengenakan penutup muka, setelah dicegat BN di dorong dan dibungkam hingga mencium aspal, pada saat itu terjadi aksi pemukulan yang beruntun dilakukan mereka, bahkan kepalanya juga ikut ditendang, melihat aksi itu, teman-teman masa kecil BN daerah sangkrah yang saat itu jualan, bilang "anggih-anggih… sambil mereka berusaha mendekati gerombolan Densus 88, dengan tujuan mau memukul Densus 88," saat itu Densus 88 langsung dengan segera masuk mobil dan lari dari kejaran massa yang memang kenal dengan BN. Kemudian BN ditutup matanya menggunakan lakban hitam dan selama dalam mobil dipukul terus sampai mengalami sakit (BN punya riwayat asma dan jantung), kemudian digiring ke hotel, tapi tidak tahu hotel apa, karena disekap dan mata ditutup lakban, perkiraan masih daerah Solo, selama di hotel, BN dipukulin dan akhirnya lakban dibuka, pada saat dibuka BN ditunjukin data orang-orang DPO mereka yang dianggap terlibat jaringan teroris dan BN menjawab tidak mengenal mereka sama sekali saat dilihatkan wajah-wajahnya, bahkan tidak tahu itu jaringan mana saja, ketika mendengar jawaban BN seperti itu, mereka masih tetap memukul, istilahnya ingin terus memaksa BN bicara, padahal aslinya BN bilang dia tidak kenal siapapun yang ditunjukan Densus 88. Setelah itu sampai keesokan harinya masih di Solo, cerita kedzaliman ini berlanjut.
- BN digiring ke rumah kontrakannya di daerah Semanggi sekitar pukul 05.55 wib, dan waktu itu istri BN pergi/berangkat ke rumah mertua sekitar jam 05.30 wib, jadi rumah dalam keadaan kosong tidak ada penghuni. Saat proses penggeledahan, yang menjadi saksi adalah bapak RT, Siskamling dan perwakilan dari RW, pertama kali yang mereka lakukan adalah menahan BN tetap berada di dalam mobil mereka, kemudian mereka bertanya, di mana barang-barang rumah di simpan, BN jawab di garasi rumahnya, setelah itu mereka turun duluan dan BN dibiarkan dalam mobil, pada saat memulai penggeledahan rumah, saksi-saksi tadi tidak ada yang ikut, jadi mereka masuk duluan dengan memaksa membuka pintu rumah sampai rusak dan mencari sasaran yang mereka inginkan (yaitu peluru-peluru), dalam waktu 15 menit mereka keluar dan memanggil beberapa saksi dan wartawan untuk masuk termasuk BN juga disuruh masuk, dan digiring ke gudang, dan didapatkan dari dalam gudang tas ransel warna biru berisi peluru AK 47 dan sarung pistol jumlahnya lebih kurang 500 butir, pada saat itu dari versi RT ada keganjilan saat pengakuan BN waktu terjadi penggeledahan yaitu BN bilang; “saya tidak tahu posisi barang-barang di gudang” (dikonfirmasi ke istri BN, memang BN tidak ikut proses pindah-pindah barang saat BN bersama istri pindah kontrak ke rumah yang menjadi TKP), dan BN tidak mengetahui keberadaan tas itu bahkan peluru-peluru AK 47, disini letak keganjilan adanya konspirasi dan skenario mereka. Karena dari info yang akurat bahwa tas yang berisi peluru itu sudah dikembalikan ke pemiliknya, dan itu diadakan kembali saat penggeledahan. Sedangkan peluru yang pernah ingin dikembalikan BN ke ‘ipung’ —dugaan kuat orang binaan Densus 88— waktu usaha warnet BN masih ada sekitar dua tahun lalu, itu jenis peluru kecil yang ukuran 9 mm, dan ketika ‘ipung’ pernah sekali datang ke warnet, dan BN niat mengembalikan dan mengasihkannya ke ipung, tapi saat itu ipung menolak (karena dugaan kuat sudah jadi kaki tangan Densus 88). BN memang sempat bingung, harus diapakan, dan informasi terakhir dari keluarga BN, peluru itu sudah dibuang saat kelahiran anak BN bersama istrinya Fiqa, dengan nama rayyan sekitar tahun 2009, tepatnya bulan Ramadhan bersamaan saat membuang ari-ari jabang bayi.
- Dugaan selama investigasi, mungkin peluru yang dibuang masih ada yang tersisa dan inilah yang menjadi incaran Densus 88 selama ini. Karena saat keluarga BN besuk kali pertama ke tahanan Polda Metro Jaya, Densus 88 sempat menanyakan ke orang tua BN; di mana sisa-sisa peluru dan dari teman-teman BN (gilang, fajar, abdil) yang sempat juga besuk ke BN. Dan tiga orang kawan BN yang besuk ini juga sempat di-‘introgasi’ dan menanyakan hal yang sama tentang peluru. Jadi terindikasi bahwa barang dan tas itu mereka (aparat sendiri) yang adakan, di sisi lain mereka juga ingin mengetahui keberadaan peluru-peluru yang dibuang.
(ya Rabb, hamba sudah sampaikan, maka saksiskanlah..! Insya Allah bersambung bi Aunillah)
Harits AU
Pengamat Kontra-terorisme dan Analis Divisi Politik DPP HTI